Minggu, 15 Mei 2011

Kau Selalu Ada (Sebuah Karya untuk Bunda)

Berikut ini adalah sebuah karya mahasiswa tahun pertama di jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, FBS, UNY. Seorang anak muda yang penuh semangat dibalik sikapnya yang kalem dan tenang. Ini adalah penggalan calon novelnya yang merupakan kisah hidupnya secara nyata yang dituangkan dalam permainan kata yang indah melalui dunia sastra. Bagus nak! Selamat berkarya dan teruslah berkarya. Aku mengapresiasi karya-karyamu dan berkompetisilah dalam dunia penulisan! Salam hangat - B Arik.

Kau Selalu Ada (Sebuah Karya untuk Bunda)

by Adetya Preteers on Tuesday, April 26, 2011 at 8:20pm

Dari sejuta reinkarnasiku, ku taruhkan hidupku tuk tak terjerumus cinta buta,
tak terbakar api nafsu, hinga aku terbawa dan terlarut angin waktu,
tertiup sunyi dan kemudian terurai.
۝
Di malam tak berpenghujung, dan tak juga berpendar purnama, aku ingin menurunkan rinai dari wajah-wajah kuyuku yang mulai layu, terbaring mati di pusara-pusara tandus dan gersang padang-padang jiwa. Sungguh, ketika kosong menyeruak bagai angin tanpa deru, atau hujan tanpa basah dan pelangi, gundah jauh berjalan di titian sepi tanpa kawan.
            Masih tak teringatkah kau pada jutaan detik saat kita bersama. Mencoba melawan malam dengan senyum, dan cahaya lain meski bukan dari tinggi langit atas sana, ada yang lain, soal eratnya tangan kita bergandeng dan bagai tambatan-tambatan ratai baja mustahil putus. Atau setidaknya, saat udara masuk dari jendela-jendela yang tak pernah kita tutup kala malam. Meringkuk di sisi-sisi dinding putih kusam, menelung di situ satu-persatu tangkai tak berdaun, seperti hatiku kini, kerontang.
            “Hidup itu adalah pilihan bukan?” katamu, dan aku terkejut hanya menjawab dengan apa, namun kau selalu begitu menyunggingkan senyum terang bagai cahaya kunang, meski kita di tengah gelap tanpa warna. Aku sedikit terpejam, saat kau mulai mengalirkan dongeng dari sungai-sungai besar imajinatifmu yang tak pernah kering, selalu segar dan itulah kau.
            Kau sendiri yang selalu bilang, bahwa hidup harus memilih dari sekian banyak pilihan, kadang kita dihadapkan pada tembok-tembok berjeruji dan ber pecahan kaca, kita tetap lalui, dan kau selalu bilang ketika ambil keputusan, kita bisa lewati ini, ya ini. Begitu katamu meluap-luap bagai rob gisikan ke jalan arteri setiap kali curah hujan mulai menderas.
Kau juga yang bilang, kalau apapun resikonya, itu perjuangan, bukan hanya lari seperti penghianat dan pecundang kalah perang. Dan juga seorang lelaki yang lepas tanggung jawab ketika dia enak mempermainkan anak orang, itu pengecut. Dan kau ingin aku tak menjadi para mereka, menjadi diriku sendiri yang lain, tak pragmatis, mempunyai tujuan dan meraihnya. Itu yang selalu kau lantunkan ketika aku tidur, sambil sesekali mengusap wajahku dengan tulus.
Atau di setiap malam, ketika kau mulai terbangun sementara aku sendiri masih tertidur nyeyak tanpa merasa bersalah, dengan tetesan air matamu kau meminta Dia memudahkan jalanku. Ini berat, aku harus mempertanggungjawabkannya kelak. Aku selalu saja ingin berinai, menetes bersama embun-embun pagi yang masih menyisakan aroma malam. Aku tak ingin pergi namun harus.
“Ya sudahlah” itulah katamu, setiap kali kita berdebat. Aku yang selalu tak mau kalah, aku yang selalu menunjukkan ego. Itulah memang sifatku sebagai manusia muda, orang-orang penentang yang tak bisa diam sampai keinginannya terturuti. Kau selalu mengiyakan meskipun ku yakin itu berat. Aku terlalu egois untuk memaksakan, tapi kau bicara padaku, bahwa kau sanggup dan mengatakan padaku agar aku menunggu waktu yang tepat. Selalu itu.
“Ya” senyuman itu terlalu kekal, hingga aku tak mampu melupakannya, meski jauh di rantau, aku tak mampu melupakannya, karena senyuman itu selalu saja memenuhi tembok-tembok kamarku, memenuhi landscape dan hamparan yang aku lihat. Aku tahu ini menyiksa, terlebih ketika ku dengar kau selalu terisak selepas sujud. Selepas mengadukan nasib kepada sang Khalik. Selalu itu yang kau lakukan, namun aku buta menutup mata dan tak acuh, berlalu begitu saja
Sedang di lain waktu, kau membangunkanku dalam lelap, di tengah matahari yang tak tampak karena mendung, dan berbagai cerita yang engkau lontarkan saat masih ada waktu-waktu senggang untuk kita berbagi. Di pagi yang tanpa aktifitas, di siang saat kita bersama merumput, dan di malam saat kita membaringkan lelah.
Kau satu dari segelintir orang yang mengerti perasaan dan hatiku tanpa aku harus menceritakannya, merasakan jauh lebih sakit dari sakit yang aku rasakan, merasakan bahagia lebih dari bahagia yang aku rasakan. Atau berjuta tangisan lain, aku tak tahu.
Tentang orang yang memikirkanku, apakah aku makan atau tidak, apakah aku sehat atau tidak, dan bagaimana keadaanku, hanya sesederhana itu, bahkan ketika semua orang melupakannya, dan tak mempedulikan hidup dan kehidupanku. Tapi kau tidak. Orang yang tak pernah bisa makan, sebelum tahu kabarku, orang yang selalu gelisah untuk sekedar memikirkan masa depanku, walaupun mungkin aku tak pernah menganggapnya selama ini. Meskipun mungkin, aku hanya dapat memberikan getah-getah kekecewaan dan beban. Hanya itu.
“Dalam darahmu, ada aku. Itulah mengapa aku harus memikirkanmu”
Mungkin selama ini aku diam dalam bisu, dalam gengsi yang terlalu tinggi. Aku tuli dengan ucapan-ucapan yang memang seharusnya aku dengar, aku terlalu lumpuh untuk melakukan apa yang sepantasnya aku lakukan. Aku berlagak tak punya pilihan, dan sekarang hanya menyesal di palung jiwa dan jurang dalam sukmaku.
Masih teringat saat tak banyak yang mampu aku lakukan, tak banyak yang bisa aku kerjakan kecuali tertawa dan menangis tak lebih. Terlalu larut, kau menjaga, hingga cekung hitam di matamu jelas terlihat. Ataupun timangan-timangan yang aku rasakan saat ini. Itulah saat-saat tangan lembutmu menyentuhku.
Dan hingga aku dewasa pun, saat dimana aku sudah siap menantang kehidupan yang lain, kau masih saja menyiapkan apa yang seharusnya bisa aku siapkan sendiri. Dan kalut, ketika ku menemui masalah. Aku tak mampu menangung nya sendiri, dan semua yang telah kuterima adalah pekerjaan beratku sekarang. Aku tahu, setelah ini apapun yang aku lakukan tak akan berarti.
Namun satu yang selalu kuingat Kau tak akan terganti
Meski waktu datang dan berlalu
Sampai kau tyada bertahan
Semua tak kan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku
Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah kau tak akan terganti

1 komentar: