Minggu, 15 Mei 2011

Dengan Tergesa

Aku selalu mengapresiasi semua karyamu, wahai mahasiswaku yang luar biasa. Tetaplah menjadi luar biasa. Di atas nama biasa itu kamu sungguh luar biasa. Berangkat dari mimpi kecil punya perpustakaan yang sederhana agar kau bisa membaca dan terus membaca...akan terlahir sebuah perpustakaan di luar sana yang menyajikan berderet karya-karyamu. Teruslah menjadi mahasiswaku yang membanggakan.Semoga tulisanmu dapat menginspirasi semua pembacanya. Rinduku bercakap dan berbincang denganmu. Salam sayang - Bu @rik

Dengan Tergesa

by Eko Triono on Saturday, May 14, 2011 at 3:49pm
Dengan tergesa. Juga kecenderungan tak peduli siapa bakal baca. Kutulis ini catatan yang mungkin menunjuk-nunjuk, yang menjambak.

Mulanya tentang hari-hari yang kini hampir dipenuhi beban peringatan. Socrates bilang butuh refleksi manusia itu. Sebab, kata dia, kalau tidak direfleksikan hidup tak pantas dijalankan. Tapi bagaimana jika relfleksi-refleksi itu tak lebih dari pesta ulang tahun anak ingusan, dengan sorak kuasa, dengan sorak laba, dengan sorak popularitas. Bahkan, tutup kepala kerucut, kue tart, atau lilin api, cuma suatu yang menunggu setiap tahun dengan kebekuan yang sama. Cuma beda jumlah.

Aktualitas analisa para peraya tanggal--akan jadi bencana bagi ras--akan mencekik diri pada sorak-sorak pintu kamar pada kalender yang seandainya masih punya angka kosong, bakal kita titipkan hari kematian kita untuk diperingati, untuk dicatat di koran-koran, untuk menambah daftar betapa kitalah yang paling mampu bereksistensi. Ornamen akan memenjara. Peristiwa akan jadi majikan analis instan. Pakar akan tak lebih jadi budak dari isu. Sementara kita tahu, siapa buat isu, siapa buat peristiwa, siapa buat peringatan hari-hari dalam angka kalender.

Dan, ahli ilmu, dilepaskan dari kenyataan kanker nukleus sosial. Mereka duduk memerkan keterpinggirannya dengan gagah, dengan pena berisi penghakiman nilai, dengan udud berasap gaya sibuk dan gelar yang berat menekuk punggungya hingga jadi terlalu busung; hingga membuang isi pikiran dan pertanyaan muridnya, hingga merasa lebih penting dari segalanya di dunia ini. Itulah intelektual keparat yang juga terjebak dalam rangkaian gelar dan pangkat golongan, juga sertifikat-sertifikat yang cuma kertas. Mereka terjebak, sebagaimana angka-angka kalender, pada hal-hal yang padamulanya abriter kemudian jadi egaliter. Dan itu, tentu bukan kita.

Tabik,
Eko Triono
14/5/2011/15:40

2 komentar:

  1. Ketika intelektualitas membuat kita bertekuk lutut seolah menghamba, seharusnya kita juga menyadari bahwa seonggok daging dan darah yang dianggap belum mapan sesungguhnya sangat kuat hati menerima semua caci maki yang diarahkan padanya. Tentu bukan-kami-yang menghamba tapi karena kita masih sering kali memandang sesuatu yang belum mapan sebagai papan empuk untuk menancapkan mata panah yang entah bermadu atau justru beracun.

    BalasHapus
  2. "Itulah intelektual keparat yang juga terjebak dalam rangkaian gelar dan pangkat golongan, juga sertifikat-sertifikat yang cuma kertas. Mereka terjebak, sebagaimana angka-angka kalender, pada hal-hal yang padamulanya abriter kemudian jadi egaliter".
    Naudzubillahimindzalik

    BalasHapus